PERTEMUAN SINGKAT YANG BERKESAN
Tanggal 23 Juni menjadi salah satu hari yang terasa sunyi dan berat bagiku. Saat itu libur semester sedang berlangsung, namun aku belum bisa pulang ke Riau karena masih ada beberapa kegiatan yang harus kuselesaikan di Semarang hingga tanggal 29.
Setelahnya, aku juga harus langsung ke Bekasi pada 1 Juli. Semua itu membuatku tertahan di kosan, sendirian, sementara teman-temanku mulai satu per satu pulang kampung.
Pada tanggal 22 Juni, sahabatku Suci pulang ke kampung halamannya di Padang Panjang. Aku mengantarnya sampai gerbang kos, dan saat dia pergi, ada perasaan kosong yang menghantam. Aku merasa sangat kesepian, bahkan tak mampu menahan tangis. Esoknya, 23 Juni, Handini juga pulang ke Klaten. Aku yang mengantarnya ke stasiun, atas keinginanku sendiri dan kembali merasakan kesedihan yang sama. Rasanya aneh dan berat melihat satu demi satu orang yang biasa menemani hari-hariku pergi.
Malam harinya, sekitar pukul sembilan, aku kembali ke kos. Hening. Sepi. Aku sempat berpikir untuk menelpon teman-teman di Riau, tapi aku khawatir mengganggu mereka. Akhirnya, dengan sedikit keraguan dan rasa sepi yang mendesak, aku membuka OmeTV sesuatu yang sebenarnya enggan kulakukan karena banyak cerita negatif tentang platform itu. Awalnya aku hanya skip-skip saja, ragu, bahkan sempat berhenti. Tapi entah kenapa, aku tetap melanjutkan… dan ternyata, aku bertemu dengan orang-orang yang memberiku pelajaran berharga.
1. Anak Sulawesi dan Kucingnya
Orang pertama yang kutemui adalah seorang laki-laki dari Sulawesi. Ia sedang bermain dengan kucingnya yang sangat manis, tenang, dan nurut, kucing yang bahkan ketika digendong atau dielus, tetap diam dan kalem. Kami tidak banyak bicara, lebih banyak aku hanya memperhatikan interaksi dia dengan kucingnya. Ia baru lulus SMA tahun ini, dan sempat bertanya tentangku apakah aku kerja atau kuliah. Setelah beberapa menit, ia berpamitan dan kami saling mengucapkan selamat tinggal. Dari dia, aku belajar bahwa tidak semua orang di OmeTV itu buruk. Ada juga yang hangat, ramah, dan menyenangkan dan berkat pertemuan dengannya membuatku menjadi berani untuk bertemu dengan orang - orang selanjutnya.
2. Delon dari Kerinci
Orang kedua, kalau tidak salah namanya Delon. Dia baru tamat SMA, masih berusia 17 tahun. Waktu itu dia sedang merokok, memegang minuman, dan tidak mengenakan baju. Kukira dia sedang di toilet, ternyata tidak. Raut wajahnya tampak lelah dan stress. Ketika kutanya, ia menjelaskan sedang mengurus berkas untuk pendaftaran TNI. Ternyata ia berasal dari Kerinci, awalnya kupikir dari Pangkalan Kerinci, tapi ternyata bukan dia dari Kerinci, Jambi. Kini ia sedang di Bandung mengikuti proses tes masuk TNI. Ia bercerita bahwa sejak kecil bercita-cita menjadi TNI, meskipun ibunya sangat ingin dia menjadi dokter. Ibunya bahkan mengatakan akan menuruti semua keinginannya jika dia memilih jalur kedokteran. Namun dia tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin menjalani sesuatu yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Delon adalah contoh nyata orang yang tahu apa yang dia mau dan berjuang keras untuk itu, bahkan saat sedang sakit setelah mencabut gigi pun ia tetap menyelesaikan berkas-berkasnya.
3. Wafa dari Bogor
Orang ketiga bernama Wafa, seorang santri dari Bogor yang saat itu sedang berada di Sukabumi membantu orang tuanya berjualan pakaian seperti daster. Usianya baru 15 tahun dan ia baru akan masuk SMA. Ia bercerita tentang penyesalannya selama di pondok karena dulu tidak serius dan sering bermasalah. Namun setelah menyadari betapa berat perjuangan orang tuanya, ia mulai sadar dan bertekad untuk berubah. Ia memilih untuk lebih serius menjalani pondok yang baru, meski dalam hati ia sempat menginginkan sekolah biasa. Wafa menunjukkan bahwa kesadaran akan perjuangan orang tua dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemauan untuk memperbaiki diri.
4. Bang Yehezkiel, Sang Dosen
Orang terakhir yang kutemui adalah seorang dosen bernama Yehezkiel Saragih. Ia mengajar mata kuliah kalkulus di salah satu universitas swasta di Jakarta Barat. Ia berasal dari Sulawesi, menempuh S2 di Taiwan, dan kini mengajar di Jakarta. Kami berbincang tentang banyak hal: hobi, hidup, bahkan berbagi ayat favorit dari Amsal 1:7 yang berbunyi "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan." Ia mengatakan bahwa mengeluh hanya akan membawa afirmasi negatif dalam diri kita, yang pada akhirnya membuat kita menyerah dan berhenti bertumbuh. Ia juga menyadarkanku bahwa segala sesuatu bisa dijalani jika kita mau mencoba dan serius. Bang Yehezkiel adalah sosok yang sangat menghargai pendidikan dan mengajarkanku bahwa menjadi introvert bukanlah akhir kita bisa berkembang, melampaui batasan diri yang kita pikir tak bisa dilewati.
Dari keempat pertemuan singkat itu, aku belajar bahwa bersosialisasi, meski dengan orang asing, bisa sangat berarti. Dunia ini luas, dan ternyata ada banyak sekali cerita, perjuangan, dan pelajaran yang bisa kutemui hanya dalam beberapa menit percakapan. Semua orang punya masalahnya masing-masing, punya perjuangannya sendiri. Ada yang sedang mengejar cita-cita, ada yang mencoba menebus kesalahan, ada yang bertahan di tengah konflik batin, dan ada juga yang mencoba menginspirasi dalam diam. Hari itu, yang awalnya terasa sepi dan hampa, berubah menjadi malam yang penuh makna. Aku bersyukur bisa bertemu orang-orang yang membuka mataku bahwa aku tidak sendiri. Bahwa semua orang sedang berjuang, dengan cara dan versinya masing-masing. Dan mungkin, itulah yang membuat kita tetap bertahan di dunia ini: keinginan untuk hidup, berkembang, dan menemukan makna dari setiap pertemuan, meski hanya sebentar.
Komentar
Posting Komentar